oleh
Ahmad Juhaidi
Sulit rasanya membantah riset Suitts, (2013 : 10) dan SEF (2007 : 11) yang melaporkan bahwa siswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah mendapat nilai yang rendah dalam pelajaran, berada pada peringkat bawah, drop out, dan gagal untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Hal tergambar pula dalam cerita seorang guru madrasah. Pada sebuah madrasah di wilayah padat penduduk di kota ini, sering ditemukan siswa yang bermasalah: membolos, pemalas belajar di kelas, bahkan minum obat terlarang. Seorang siswa yang malas belajar dan sering bolos lebih sering berasal dari keluarga miskin. Misalnya seorang siswa yang dibesarkan oleh seorang kakek yang renta, karena ibunya sudah meninggal dunia dan ayahnya di penjara. Kakek itu bercerita pada seorang guru dengan suara yang pelan
“ulun tidak punya apa-apa, tapaksa ai bacari gasan cucu dan bahanu mangirimi anak nang di panjara. Inya di panjara kada di Banjarmasin, disuruh mangaku mambunuh ujar, tiap hari paling sadikit mancari duit dua puluh tujuh ribu gasan cucu nang badua itu”
Ketiadaan harta menyebabkan kakeknya itu harus mencari uang untuk dua orang cucu sebesar dua puluh tujuh ribu rupiah perhari dengan cara berjualan boneka dan minuman di sebuah pasar. Duit itu digunakan untuk uang saku dan biaya ojek ke sekolah salah satu cucunya dan cucu yang lain menggunakan sepeda.
Pada kasus lain, ada siswa yang tidak hadir ke sekolah yang belakangan ternyata diketahui hamil dan menikah. Dia tinggal di sebuah rumah yang sangat kecil sehingga tidak ada beda antara tempat tidur dan dapur serta tempat mandi. Semua kegiatan dilakukan diruang kecil berdinding kayu dan seng sebagian. Keadaan rumah itu cukup sudah menggambarkan kemiskinan yang menimpa keluarga itu. Dia dibesarkan oleh ibu dan ayahnya sudah meninggal. Sangat sulit orang tua tunggal miskin, yang sibuk mencari nafkah untuk membimbing anaknya. Kisah-kisah sedih siswa miskin yang sering dilihat guru itu memberikan gambaran bahwa kemiskinan memiliki andil bagi rendahnya prestasi siswa di sekolah, bahkan siswa yang bermasalah, suka membolos, malas belajar, kada pandapatan (lambat paham), bahkan pecandu obat terlarang lebih sering berasal dari keluarga tidak mampu yang bersekolah di sekolah/madrasah biasa.
Jika sekolah/madrasah tersebut itu tidak mampu lagi mendidik mereka, siswa tersebut akhirnya disuruh pindah ke sekolah lain. Mendaftar ke SMPN yang bernomor urut rendah tak mungkin diterima, dicobalah ke sekolah/madrasah swasta yang dikelola seadanya. Bahkan, mereka kadang-kadang juga ditolak oleh sekolah/madrasah tersebut, karena dianggap akan menambah masalah. Siswa-siswa yang sudah ada saja banyak masalah, apalagi kalau ditambah dengan satu orang itu yang sudah jelas akan menambah pikiran pada guru. Mereka dapat disebut siswa yang tak diinginkan Bayangkan kawan! Relakan para guru menambah lagi permasalahan yang muncul akibat prilaku siswa itu? Kalau tidak ada yang bersedia menerima, akhirnya mereka tidak bersekolah. Kalau dia menjadi pembuat masalah di masyarakat karena tidak mendapat pendidikan siapa yang disalahkan?
Oleh karena itulah, saya masih terusik dengan sekolah-sekolah atau madrasah unggulan yang disediakan untuk orang-orang pintar yang mudah dididik. Peluang siswa-siswa dari keluarga miskin sangat kecil untuk bersekolah di sekolah semacam itu. Mungkin ada beberapa yang berhasil bersekolah di situ, tetapi berapa orang? Berapa persen? Seberapa miskin? Meskipun, belum ada laporan riset resmi yang mengungkapkan latar belakang sosio ekonomi siswa dari sekolah/madrasah unggulan di banua ini, saya menebak mayoritas mereka berasal dari ekonomi menengah ke atas.
Hal itu sering terlupakan, karena publik sering disuguhi berita-berita satu dua orang anak dari keluarga tidak mampu berprestasi atau dapat beasiswa. Anak tukang bla bla lulus cumlaude, begitu lah kira-kira judul berita di koran. Satu dua orang dari keluarga miskin yang berprestasi tadi sering menjadi pembelaan bahwa kemiskinan bukan halangan untuk berprestasi di sekolah. Satu dua orang itu tidak bisa dijadikan bukti untuk menggeneralisasi bahwa kemiskinan tidak menjadi halangan untuk menjadi pintar.
Sementara itu ada ribuan anak dari keluarga miskin yang harus susah payah mencari nafkah dan tidak sempat lagi belajar tidak diperhatikan dan diungkapkan ke publik. Jikapun diungkapkan selalu dalam rangka menyalahkan mereka, bukan untuk memahami dan membeli mereka. Publik harus memahami bahwa mereka berbuat keliru karena, misalnya, kurang bimbingan orang tua. Bagaimana mungkin orang tua mereka bisa membimbing jika dari fajar belum menyingsing sampai senja menjelang, harus mencari nafkah, dan malam hari harus beristirahat. Kita mungkin bisa menyalahkan mereka yang rendah prestasi akademik dengan menyebut mereka malas belajar di rumah. Mungkinkah bisa belajar dengan nyaman di rumah, jika perut lapar atau lelah karena harus bekerja sore hari sampai malam.
Sementara itu, kawan-kawan mereka dari kalangan menengah ke atas dapat dengan mudah mengakses sekolah yang baik dan rata-rata mereka lebih memiliki kemampuan akademik. Bahkan disediakan sekolah yang terbaik dan gratis. Sekolah-sekolah unggulan memang disediakan untuk yang berprestasi, sehat, dan bertubuh ideal. Bagaimana mungkin anak dari keluarga kekurangan bisa berbadan ideal, sehat gigi sempurna, dan berprestasi akademik, kalau orang tua mereka masih belum yakin apakah anaknya bisa makan bergizi, bisa membeli baju seragam dan buku pelajaran. Memang harus diakui, ada beberapa siswa dari keluarga tidak mampu bersekolah disekolah unggulan, tapi berapa orang dan setidak mampu apa mereka?
Gambaran tersebut menjadi argumen bahwa pemerintah harus memberikan kesempatan bagi siswa yang tidak dapat lagi diterima, karena kenakalannya, di sekolah/madrasah biasa.. Pemerintah harus menyediakan sekolah terbaik, tidak hanya untuk orang-orang pintar yang kebanyakan dari keluarga mampu, tetapi juga untuk siswa yang tidak diinginkan tersebut. Sumber daya yang disediakan juga harus maksimal. Guru yang mengajar mereka juga harus yang terbaik. Sarana prasarana terlengkap. Pendek kata, sekolah itu juga adalah sekolah terbaik.
Ketika sebuah sekolah/madrasah berhasil mendidik siswa yang biasa-biasa saja bahkan siswa bermasalah, pada saat itulah pendidikan lebih bernilai dari pada pendidikan di sekolah yang siswanya sejak awal sudah pintar dan mudah dididik. Sekolah unggulan sekarang lebih untuk pamer bahwa kita juga punya orang pintar yang bisa bersaing dengan siswa daerah lain. Itu penting tetapi juga penting memperhatikan anak-anak lain yang bermasalah. Mereka jika tidak dididik secara serius bukan mustahil akan menjadi masalah di masa akan datang. Bukankah pencopet, penjambret, pengedar, perampok, perompak, pencuri, pencongkel kaca mobil, penipu, begundal itu disebabkan pendidikan yang tidak bisa mereka dapatkan?