Jujurlah dan Jangan Berdusta

Oleh

Dr. Hairul Hudaya, M.Ag

Teks Hadis

عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا »

Artinya:

Dari Abu Wa’il dari Abdullah Ra. Dari Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa kepada surga. Dan seseorang yang selalu berbuat jujur hingga ia menjadi orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta membawa kepada keburukan dan keburukan itu membawa kepada neraka. Seseorang yang selalu berdusta akan dicatat Allah sebagai pendusta. (HR. Bukhari)

Kualitas Hadis

Hadis di atas berkualitas shahih. Tidak hanya diriwayatkan oleh al-Bukhari namun juga diriwayatkan oleh hampir semua mukharrij kutub tis’ah di antaranya adalah Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Darimi dan Ahmad ibn Hanbal. Sehingga kesahihan hadisnya tidak diragukan lagi.

Makna Hadis

Hadis tersebut diriwayatkan dalam beragam versi redaksi matan yang menunjukkan hadis tersebut diriwayatkan secara makna. Namun demikian, matannya memiliki kandungan makna serupa. Di antara redaksi hadis tersebut berbunyi:

لِيَتَحَرَّى الصِّدْق وَلِيَتَحَرَّى الْكَذِب

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْق يَهْدِي إِلَى الْبِرّ . وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِب

Hadis di atas memerintahkan kita untuk berlaku jujur dan menghindari perkataan dusta. Nabi Saw. mengingatkan hal tersebut karena dapat berdampak bagi kebahagiaan dan kesengsaraan hidup seseorang baik di dunia maupun di akhirat. Kejujuran, sabda Nabi Saw., membawa seseorang ke surga sedang dusta menggiring orang ke neraka. Bagaimana bisa perkataan jujur dan dusta membawa dampak sedemikian besar dan menentukan surga dan neraka kita kelak? Penjelasan mengenai hal ini akan dimulai dari beberapa kata kunci yang disebutkan hadis di atas.

Ada tiga kata kunci dari hadis di atas yang disebutkan saling bertentangan. Kata ‘al-sidq’ atau jujur dilawankan dengan kata ‘al-kazib’ atau dusta. Kata ‘al-bir’ dilawankan dengan kata ‘al-fujur’ dan kata ‘al-jannah’ dilawankan dengan ‘an-nar’. Tiga kata tersebut jika kita mengacu kepada kitab al-Furuq al-Lugawiyah, kitab yang membahas sinonimitas dan antonimitas dari setiap kata dalam Bahasa Arab akan nampak bahwa ketiganya dipertentangkan.

Dalam kitab al-Furuq al-Lugawiyyah, Kata ‘al-sidq’ dan ‘al-kazib’ merupakan dua kata yang maknanya saling bertentangan.[1] Kata ‘al-sidq’ dimaknai dengan berita tentang sesuatu yang sesuai faktanya sedang ‘al-kazib’ berarti berita di mana apa yang diberitakan bertentangan dengan faktanya sehingga orang menganggap benar berita tersebut namun dapat diketahui kebatilannya dengan bukti. Sehingga baik dusta maupun jujur menunjukkan secara khusus pada aspek pembicaraan atau ‘aqwal’.

Dua kata yang juga bertentangan sebagai efek dari jujur dan dusta adalah kata ‘al-bir’ dan ‘al-fujur’. Kata ‘al-bir’ bermakna kebaikan yang membawanya kepada kebaikan lainnya dengan bersengaja untuk itu. Makna lainnya adalah kemanfaatan yang besar, keutamaan yang besar dan dapat berupa perkataan yang lembut. Sementara kata ‘al-fujur’ berarti keinginan yang kuat untuk bermaksiat.

Konsekwensi dari jujur dan dusta pun saling bertentangan yakni surga dan neraka. Surga adalah tempat yang penuh kenikmatan sedang neraka adalah tempat siksa yang penuh kesengsaraan. Kenikmatan surga digambarkan dengan air yang mengalir, makanan dan minuman yang melimpah sehingga tidak akan ada yang kelaparan atau kehausan, pasangan yang suci, penghuninya mengenakan perhiasan emas dan pakaian sutera dan kenikmatan lainnya (Q.S. 2: 25; Q.S. 3: 15; Q.S. 22: 23). Yang oleh Nabi Saw. kenikmatannya tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak terlintas di hati seseorang (HR. al-Bukhari bab Bad’ul Khalqi). Ini menunjukkan bahwa kenikmatan surga yang luar biasa sehingga seseorang tidak pernah mengira sedemikian menakjubkannya kenikmatan surgawi.

Sementara neraka dipenuhi dengan siksaan. Alquran menggambarkan bahwa orang yang disiksa di neraka kulitnya akan terbakar dan setiap kali kulit tersebut hangus, Allah gantikan dengan kulit yang baru lagi begitu seterusnya hingga ia merasakan pedihnya siksa yang berulang-ulang (Q.S. 4: 56). Hidangan yang disajikan pun sangat menyiksa. Makanan dari pohon Zaqqum yang sangat pahit dan tumbuh di dasar neraka sedang minumannya adalah air mendidih (Q.S. 56: 52-54). Begitu tersiksanya penghuni neraka sehingga mereka ingin kembali ke dunia meski sebentar untuk dapat bersedekah dan beramal shaleh (Q.S. 63: 10; Q.S. 32: 12). Bahkan, mereka menginginkan sekiranya dulu menjadi tanah saja sehingga tidak mendapat siksa sedemikian berat (Q.S. 78: 40). Demikian juga sekiranya siksaan tersebut dapat ditebus niscaya mereka rela menebusnya dengan orang-orang yang mereka cintai waktu di dunia, anak-anak mereka, istri, saudara dan kerabat dengan harapan dapat terbebas dari siksa neraka (Q.S. 70: 11-14). Namun semua upaya tersebut akan sia-sia.

Lalu jujur yang bagaimana yang dapat membawa ke surge dan dusta bagaimana yang dapat menyeret seseorang ke neraka? Hadis di atas menyatakan bahwa kejujuran dan kedustaaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang akan membawa seseorang pada keadaan kehidupan akhiratnya.  Sebagaimana diketahui bahwa perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang akan membentuk karakter, sikap dan akhlak seseorang. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan seseorang berdasarkan tabiat dan kebiasaannya tanpa rekayasa, dibuat-buat dan pemikiran yang panjang. Karakter atau akhlak ini dibentuk dari apa yang sering dilakukan seseorang. Jika ia sering mengerjakan perbuatan baik maka kebaikan itu menjadi karakternya. Namun sebaliknya, jika ia sering melakukan keburukan maka sifat buruk tersebut menjadi karakternya. Inilah yang disebut oleh Ibn Khaldun bahwa karakter seseorang itu dibentuk dari kebiasaannya dan bukan dari nasab atau keturunannya (al-insan ibn ‘awaidihi la ibn nasabihi).

Dalam hadis di atas Nabi Saw. hanya menyebutkan jujur dan dusta sebagai sifat baik dan buruk dari sekian banyak sifat baik dan buruk lainnya. Seakan Nabi Saw. mengkhususkan pada umatnya untuk betul-betul memperhatikan dua sifat tersebut karena efeknya yang begitu besar. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perkataan jujur ternyata membawa pelakunya kepada perbuatan-perbuatan baik lainnya yang itu menjadi tujuan dan agendanya. Sementara perbuatan dusta akan membawa kepada kemaksiatan lainnya. Karena orang yang berdusta tentu memiliki tujuan yakni menutupi kemaksiatan. Sehingga, untuk menutupi satu kemaksiatan ia akan melakukan banyak kedustaan. Jika kedustaan itu terus ia lakukan maka pada titik tertentu nantinya ia akan menggagap perbuatan buruknya sebagai perbuatan baik (Q.S. 35: 8).  Dengan sikap ini, ia telah membolak-balikkan nilai dari yang buruk dinilainya sebagai baik sehingga tidak mustahil akan mudah berbuat keburukan yang lain bahkan lebih besar lagi. Apabila kebaikan dan keburukan telah menyelimuti seseorang maka pantas saja jika Nabi Saw. menyatakan bahwa kejujuran itu dapat membawa kepada surga dan dusta menggiring pada neraka.

Dalam penjelasannya mengenai hadis di atas, Imam al-Nawawi, menjelaskan bahwa jujur itu akan menggiring orang untuk melakukan amal-amal kebaikan lainnya yang menjauhkannya dari sifat tercela. Sehingga membawanya kepada surga. Sedang dusta akan menggiringnya pada kemaksiatan dan menyimpang dari kebenaran. Jika orang pandai berdusta maka akan mudah melakukan banyak kedustaan. Sehingga dicatat oleh Allah sebagai pendusta.

Di zaman yang penuh kamuflase ini, orang mudah sekali melakukan kebohongan dan penipuan. Menggunakan simbol-simbol kebaikan agar terlihat baik padahal menyimpan keburukan. Perkataan yang manis, pakaian yang bagus, perbuatan yang baik saat tampil dihadapan khalayak digunakan untuk menutupi keburukan yang ada dalam hatinya. Sehingga Nabi Saw. menyebutkan orang yang berdusta sebagai ciri dari orang munafik. Orang munafik itu lain diucap lain di hati. Lain yang dijanjikan lain pula yang dilakukan. Inilah peringatan Nabi Saw. untuk kita renungi. Hati-hati dengan dusta yang berketerusan karena akan menjadi karakter pendusta sehingga mudah melakukan keburukan. Bahkan keburukan pun dipandangnya sebagai kebaikan. na’uzubillah.

 

 

 

[1]Al-Furuq al-Lugawiyyah, juz. 1, h. 178. Lihat, Al-Maktabah al-Syamilah.

About Administrator Website

Check Also

Pendidikan Anak dalam Islam

Oleh Syaifuddin Sabda   Salah satu persoalan serius yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita di …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *