Fikih Pendidikan untuk Anak

Oleh

Hairul Hudaya

 

Kitab fikih pada umumnya membahas seputar empat hal pokok yakni ibadah, muamalah, pernikahan dan hudud (hukuman atas kejahatan). Pembahasan tentang pendidikan anak tidak menjadi tema bahasan khusus. Namun demikian, tidak berarti bahwa kitab fikih tidak membicarakan tentang pendidikan anak terutama dalam kaitannya dengan ibadah. Bicara pendidikan tidak akan lepas dari beberapa unsur utama, yakni guru, peserta didik materi, metode, media dan lain sebagainya. Lantas bagaimanakah kitab fikih berbicara tentang pendidikan anak dilihat dari unsur pendidikan tersebut?

Dalam kitab I’anatut Thalibin dijelaskan bahwa batasan anak adalah tamyiz atau mumayyiz yang secara bahasa bermakna dapat membedakan. Namun yang dimaksud dengan mumayyiz di sini berarti anak yang sudah dapat mandiri; makan, minum, kencing dan buang air besar sendiri, dapat memahami apa yang membahayakan dan manfaat bagi dirinya serta tanda lainnya yang menunjukkan kemampuan anak dalam mencerna dengan akalnya. Dalam pendidikan anak disebut dengan peserta didik. Sedang kedua orang tua, kakek dan nenek, dan para wali disebut dengan guru. Lantas materi apa saja yang wajib diajarkan kepada anak oleh orang tua dan walinya?

Materi pertama yang wajib diajarkan kepada anak adalah mengenal Nabi Muhammad Saw. Pada sisi ini, yang diajarkan adalah sejarah singkat Nabi Muhammad terkait nasab, lahir dan wafat, sifat-sifat, gambaran fisik dan keluarga serta asal suku beliau.  Selain itu, anak juga dikenalkan dengan sifat dan af’al Allah Swt. baik sifat yang wajib, mustahil dan jaiz. Demikian juga sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi rasul. Dalam keilmuan Islam, materi ini termasuk bagian dari bahasan tauhid yakni iman kepada Allah dan rasulNya. Materi ini penting diajarkan kepada anak karena semua materi lainnya dalam Islam akan bergantung kepada keimanan kepada Allah dan rasul yang membawa risalah. Bila keimanan ditanamkan sejak dini dan anak memahami bahwa taat kepada Allah dan rasul wajib maka setelah dewasanya anak akan mudah melaksanakan apa yang diperintahkan maupun menjauhi apa yang dilarang oleh Allah dan rasulNya. Sebaliknya, bila keimanan tidak tertanam kuat maka ia akan mudah meninggalkan dan menjauhi apa yang diperintahkan dan dilarang dalam Islam.

Materi kedua, anak diajarkan shalat dan puasa. Materi ini termasuk bagian dari bahasan ibadah dalam kitab fikih. Terkait hal ini apa yang wajib orang tua ajarkan kepada anaknya? Orang tua mengajarkan rukun dan syarat sah ibadah, memerintahkan anak shalat pada usianya tujuh tahun dan jika tidak shalat pada usia 10 tahun maka orang tua dapat memaksanya dan memberi sanksi berupa peringatan dan pukulan ringan jika memang diperlukan. Namun pada dasarnya, anak memiliki kecenderungan untuk meniru dan mengikuti kebiasaan orang tuanya. Jika orang tua membiasakan mengajak anak shalat bersama sejak kecil maka ia akan terbiasa dan tidak perlu ada sanksi. Meski pun usia tujuh dan sepuluh tahun, pada umumnya anak belum balig, pembiasaan ini diperlukan agar ketika anak balig dan wajib untuk shalat dan puasa mereka sudah terbiasa melakukannya.

Materi ketiga, orang tua wajib mengajarkan kepada anak hal-hal yang diharamkan dan diwajibkan dalam Islam bahkan termasuk hal sunnah sekalipun seperti bersiwak. Termasuk mengajarkan anak membaca al-Qur’an karena al-Fatihah yang merupakan bagian dari al-Qur’an wajib dibaca saat shalat dan bacaan-bacaan lainnya dalam ibadah sangat terkait dengan kemampuan membaca al-Qur’an. Selain itu, anak juga wajib diajarkan dan dibiasakan dengan akhlak yang baik.

Kewajiban bagi orang tua, kakek-nenek dan wali selesai pada saat anak mencapai usia balig dan mampu mengelola dirinya atau disebut rasyid. Jika anak tersebut perempuan dan sudah menikah maka kewajiban bagi suaminya untuk mendidik dan memerintahkannya shalat dan ibadah lainnya. Kewajiban mendidik ini bersifat fardhu kifayah. Artinya bila salah satu dari orang tua (ayah atau ibu), kakek-nenek dan walinya telah mengajarkan dan memerintahkannya beribadah maka gugur kewajiban bagi yang lain. Namun jika tidak ada yang melakukannya maka semua menanggung dosanya.

Bagaimana jika orang tua tidak mampu mengajarkan anaknya semua hal di atas? Orang tua wajib mendatangkan guru bagi anaknya atau memasukkan anaknya di lembaga pendidikan yang mengajarkannya agama. Apakah guru di sekolah dapat disamakan dengan wali bagi anak? Karena orang tua menyerahkan pendidikan anak kepada guru pada saat berada di sekolah maka guru dapat dipandang sebagai wali bagi orang tua sehingga jika anak pada saat shalat zuhur atau hingga asar berada di sekolah maka kewajiban seluruh guru untuk memperhatikan ibadah peserta didiknya dengan memerintahkan mereka shalat. Jika mereka mengabaikannya maka semua akan diminta pertanggung jawaban terhadap pendidikan ibadah peserta didiknya.

Dari sudut pendidikan, kitab fikih memandang orang tua, kakek-nenek dan wali adalah guru yang wajib mendidik anak dengan materi rukun iman, Islam dan akhlak secara bertahap sesuai dengan perkembangan kognitif dan psikomotorik anak. Pemberian materi dimulai dari usia mumaziy anak dimana kemampuan daya cerna atau kognitifnya mulai berfungsi. Pada saat itu anak mulai diajarkan materi sejarah Nabi Muhammad, shalat, puasa, membaca al-Qur’an dan akhlak. Metode yang digunakan untuk usia anak lebih banyak keteladan dari orang tua. Anak akan mencontoh apa yang dilakukan orang tuanya. Dengan demikian, kitab fikih juga mengajarkan pendidikan bagi anak. Sudahkah kita sebagai orang tua melaksanakan kewajiban dalam mendidik anak? Jika tidak maka kita turut bertanggung jawab atas keberislaman anak-anak kita.

 

About Administrator Website

Check Also

Jujurlah dan Jangan Berdusta

Oleh Dr. Hairul Hudaya, M.Ag Teks Hadis عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ – رضى …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *